Home » » SISTEM PEMBAGIAN HARTA PERSPEKTIF ISLAM

SISTEM PEMBAGIAN HARTA PERSPEKTIF ISLAM

Penulis : Unknown on Jumat, 08 Maret 2013 | 3/08/2013 09:33:00 PM



Ditulis Oleh : Dhony Arifil Huda

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting.[1] Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia.[2] Dengan harta, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan timbal balik antar manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan dalam mencari harta. Baik konvensional maupun syariah, semua sama-sama menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi manusia merupakan dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok orang yang tidak menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki sesuatu yang lebih berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif, tidak mengikat. Sebab tergantung siapa yang menilainya. Bagi orang miskin, sepeda motor merupakan harta yang paling berharga. Namun tidak bagi orang kaya. Orang kaya menganggap mobil mewah lah harta yang paling berharga. Itulah sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif.

Menyangkut sistem pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara Islami dan konvensional. Dua hal tersebut memiliki kriteria yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan masalah perbandingan sistem pembagian harta, dilihat dari sudut pandang Islam.





BAB II
PEMBAHASAN


Sistem Pembagian Menurut Islam
Sesuatu yang dianggap baik dalam Islam ada dua macam, yaitu Musytarakah (perserikatan) dan Amwal (harta). Dan dalam pembahasan kali ini dititik tekankan pada pembahasan mengenai Amwal.
1.     Pengertian Amwal (Harta)
Dari segi bahasa, al-amwal adalah jamak dari al-maal, berasal dari akar kata maala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi.[3] Sedangkan dari secara istilah, harta adalah sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.[4]
Sedangkan dalam terminologi fiqih muamalah, terdapat beragam variasi tentang pengertian harta. Di kalangan fuqaha Hanafiyah, harta adalah segala sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya dan dapat disimpan sampai batas waktu yang diperlukan.[5] Oleh ulama Hanafiyah lain disebutkan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan).[6] Berdasarkan definisi tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) harta itu mungkin dapat dihimpun dan dipelihara. Dengan demikian ilmu, kesehatan, kepintaran, dan kemuliaan tidak termasuk harta, tetapi milik; 2) dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Dengan demikian makanan yang beracun, atau rusak, tidak termasuk harta.[7]
Berbeda dengan pengertian harta menurut kalangan Hanafiyah, jumhur ulama mendefinisikan bahwa harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, mempunyai kewajiban untuk menganggung atau menggantinya.[8]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan mengenai esensi harta, yaitu bahwa yang disebut dengan harta adalah 1) sesuatu yang mempunyai nilai (al-qiimah), 2) sesuatu yang mempunyai manfaat, dan 3) sesuatu yang diperoleh baik dengan usaha tertentu maupun tanpa usaha tertentu.
2.    Pembagian Harta
Sesuai dengan pokok pembahasan menyangkut sistem pambagian harta, dalam Islam sistem pembagian harta dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, menjelaskan harta dilihat dari segi wujud atau bentuknya harta. Bentuk harta terbagi menjadi dua, yaitu berupa ‘ain (benda atau barang) dan manaafi’ (manfaat). kedua, berdasarkan boleh tidaknya untuk memanfaatkan harta dibagi menjadi mutaqawwim dan ghairul mutaqawwim. Sedangkan yang ketiga, harta dilihat dari sisi ada atau tidaknya persamaan dari harta tersebut di pasaran, terbagi menjadi mitsli dan qiimi.
a.    ‘Ain dan Manaafi’
Harta secara umum tidak hanya bersifat materi. Sebab menurut jumhur ulama, manfaat juga merupakan harta.[9] Contohnya, apabila ada seseorang menempati rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, orang tersebut dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat rumah tersebut mempunyai nilai harta. Manurut jumhur ulama tersebut, manfaat merupakan unsur terpenting dalam harta. Karena harta diukur dengan kualitas manfaat dari benda itu sendiri.
Kaitannya dengan ‘ain dan manaafi’, harta ‘ain atau materi ialah harta yang secara sifat benar-benar berwujud, bisa disentuh, dipegang, diraba, dilihat, dan sebagainya. menyangkut hal ini, Musthafa Ahmad al-Zarqa’ menyatakan “setiap materi (‘ain) yang mempunyai nilai yang beredar dikalangan manusia”.[10] Contohnya: rumah, lemari, komputer, HP, sepeda motor, dan lain-lain.
Harta berwujud (‘ain) jika diklasifikasikan menurut wujud yang menyertainya, dapat dibagi menjadi: ‘iqaar (barang bergerak), manquul (barang tidak bergerak), ‘uruudl (barang dagang), dan atsmaan (emas dan perak).
1)    ‘Iqaar (barang bergerak)
‘Iqar yaitu harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan.[11]
2)   Manquul (barang tidak bergerak)
Manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik bentuk fisiknya berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut.[12] Contoh harta manqul adalah uang, harta perdagangan, hewan, ataupun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Pembedaan harta seperti tertera di poin 1 dan 2 di atas, dapat mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:[13]
o  adanya hak syuf’ah, (hak istimewa yang dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan kepadanya).
o  Harta yang boleh diwakafkan. Menurut ulama mazhab Hanafi, harta yang boleh diwakafkan hanya benda tidak bergerak atau benda bergerak yang sulit dipisahkan dari benda tidak bergerak. Akan tetapi, jumhur ulama berpendirian bahwa kedua jenis harta ini bisa diwakafkan.
o  Seorang wasi (orang yang diberi wasiat) yang berkewajiban memelihara harta anak kecil (belum cakap bertindak hukum) tidak dibenarkan menjual harta tidak bergerak milik anak tersebut, kecuali dalam hal-hal yang sangat mendesak
o  Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, gasab tidak mungkin dilakukan pada harta tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan. Salah satu syarat gasab adalah barang yang digasab tersebut dikuasai dan dipindahkan oleh orang yang menggasabnya. Disamping itu, menurut mereka jika sekedar memanfaatkan benda tidak bergerak tidak dinamakan gasab, karena manfaat tidak termasuk harta. Akan tetapi jumhur ulama dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berpendirian bahwa gasab bisa terjadi pada benda bergerak dan benda tidak bergerak, karena bagi mereka manfaat tidak termasuk harta.
3)   ‘Uruudl (barang dagang)
Barang dagang dalam Islam termasuk kategori harta. Sebab sesuatu yang diperdagangkan tersebut merupakan hal yang sangat berharga bagi pemiliknya. Barang-barang itu menjadi sumber penghasilan dalam hidupnya. Rasulullah SAW pernah menggantungkan hidupnya dari perdagangan. Dan yang diperdagangkan adalah barang dagang.
Hasil yang ditimbulkan dari pemanfaatan barang dagang dapat dibagi menjadi dua, yaitu Qinyah dan Tijaarah.
a)   Qinyah
Esensi dari qinyah adalah tidak diprofitkan, atau dengan kata lain harta barang dagang yang dimanfaatkan untuk kepentingan konsumtif. Jadi dari harta tersebut tidak akan dilakukan penjualan untuk pencarian laba.
Qinyah dalam pemanfaatannya terbagi menjadi dua macam:
-       Habis jika dipakai (al-istihlaki)
Contoh : makanan, minuman, dan lain-lain.
-       Tidak habis jika dipakai (al-isti’mali)
Contoh : kendaraan, pakaian, tempat tidur, dan lain-lain.
b)  Tijaarah
Tijaarah, merupakan harta barang dagang yang diprofitkan. Artinya jika dilihat dari segi pemiliknya, harta barang dagang ini akan dugunakan untuk kepentingan mencari keuntungan.
Sesuai dengan pemanfaatan harta barang dagang tijaarah tersebut, dibagi menjadi dua, yaitu:
-    Habis jika dipakai (al-istihlaki)
Contoh : warung makan, katering, pulsa, bahan bakar, dan lain-lain.
-    Tidak habis jika dipakai (al-isti’mali)
Contoh : rumah kontrakan, kost-kostan, komputer, handphone, dan lain-lain.
4)   Atsmaan (perhiasan)
Seperti yang sering dijumpai, perhiasan juga termasuk harta berbentuk (‘ain). Bahkan untuk mendapatkannya, seseorang harus berupaya sekeras-kerasnya. Sebab perhiasan jika dilihat dari segi nilai, dapat dikatakan bahwa nilai dari perhiasan sangat tinggi dan nilainya juga stabil di pasaran. Contoh harta ini adalah seperti : emas, perak, mutiara, berlian, intan, dan lain-lain.
b.   Mutaqawwim dan Ghairul Mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah harta yang halal (menurut syarak) untuk diambil manfaatnya.[14] Sedangkan ghairul mutaqawwim adalah harta yang tidak halal dimanfaatkan.[15] Pembedaan pembagian harta Mutaqawwim dan Ghairul Mutaqawwim akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta tersebut menurut syarak.[16] Bangkai, babi dan khamr dalam Islambukanlah harta yang halal dimanfaatkan. Oleh sebab itu, tidak sah dilakukan akad terhadap benda-benda tersebut. Dari segi ganti rugi, jika melenyapkan dengan sengaja harta Ghairul Mutaqawwim yang dimiliki oleh seorang muslim, tidak dikenakan ganti rugi, karena harta tersebut tiadk halal bagi umat Islam. Berbeda halnya dengan khamr dan babi milik kafir dzimmi, menurut ulama mazhab Hanafi, jika dilenyapkan oleh seorang muslim, wajib dibayar ganti rugi, sebab menurut kafir dzimmi, kedua bentuk harta tersebut termasuk mutaqawwim.
c.    Mitsli dan Qiimi
1)    Mitsli
Al-maal al-mitsli adalah harta yang terdapat padanannya di pasaran, tanpa adanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kasatuannya.[17] Ada yang berbentuk barang takaran, barang timbangan,barang bilangan, yang masing-masing tidak memiliki perbedaan nilai.[18] Contohnya seperti sembako, kain, dan lain sebagainya.
Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi empat bagian:[19]
o  Al-makiilat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandum, terigu, beras.
o  Al-mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti kapas, besi, tembaga.
o  Al-‘adadiyaat (sesuatu yang dapat dihitung dan memiliki kemiripan bentuk fisik) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
o  Adz-dzira’iyaat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikategorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.
2)   Qiimi
Al-maal al-qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda.[20] Al-maal al-qimi juga biasa disebut barang bernilai tinggi.[21] Seperti domba, tanah, kayu, dan lain-lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi setiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang memiliki kualitas dan bentuk fisik yang berbeda.


[1] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 9.
[2] QS. 18: 46, artinya 46.  “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.
[3] Dahlan, Abdul Azis. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 525.
[4] Ibid. h. 525.
[5] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 10.
[6] Hasan, M. Ali. 2003. Bagaimana Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 56.
[7] Ibid. h. 56.
[8] Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h. 21.
[9] Ambary, Hasan Muarif, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 177.
[10] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 12.
[11] Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h. 27.
[12] Ibid. h. 27.
[13] Dahlan, Abdul Azis. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 526.
[14] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 20.
[15] Ibid. h. 21.
[16] Ambary, Hasan Muarif, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 178.
[17] Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h. 30.
[18] Ash-Shawi, Shaleh dan Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:……………….. h. 72.
[19] Djuwaini, Dimyauddin, Loc cit., h. 30.
[20] Ibid.h. 30.
[21] Ash-Shawi, Shaleh dan Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:……………….. h. 72.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Komaruddin. 1996. Dasar-dasar Manajemen Investasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ambary, Hasan Muarif, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Ash-Shawi, Shaleh dan Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:……..

Dahlan, Abdul Azis. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gilarso. 1992. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian Makro. Yogyakarta: Kanisius.

Hasan, M. Ali. 2003. Bagaimana Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Share this article :

Posting Komentar

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger