Ditulis Oleh : Dhony Arifil Huda
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan umat
manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting.[1]
Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia.[2]
Dengan harta, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang
primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan
terjadi interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia). Sebab harta ini didapat setelah terjadi hubungan timbal
balik antar manusia, atau biasa dikenal dengan kerja sama. Kerja sama dilakukan
untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan, yaitu harta.
Tidak ada larangan
dalam mencari harta. Baik konvensional maupun syariah, semua sama-sama
menganjurkan kepada manusia untuk mencari harta. Harta bagi manusia merupakan
dzat yang sangat berharga. Meskipun terkadang ada sekelompok orang yang tidak
menganggap itu berharga karena mungkin mereka telah memiliki sesuatu yang lebih
berharga. Singkatnya, penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif,
tidak mengikat. Sebab tergantung siapa yang menilainya. Bagi orang miskin,
sepeda motor merupakan harta yang paling berharga. Namun tidak bagi orang kaya.
Orang kaya menganggap mobil mewah lah harta yang paling berharga. Itulah
sebabnya mengapa penilaian terhadap harta dilakukan secara subyektif.
Menyangkut sistem
pembagian harta, dilihat dari subyek yang membaginya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu secara Islami dan konvensional. Dua hal tersebut memiliki kriteria
yang berbeda-beda dalam membagi harta. Dalam makalah ini akan dijelaskan masalah perbandingan sistem
pembagian harta, dilihat dari sudut pandang Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sistem Pembagian Menurut Islam
Sesuatu yang dianggap baik
dalam Islam ada dua macam, yaitu Musytarakah
(perserikatan) dan Amwal (harta). Dan dalam pembahasan kali ini dititik
tekankan pada pembahasan mengenai Amwal.
1. Pengertian Amwal (Harta)
Dari
segi bahasa, al-amwal adalah jamak dari al-maal,
berasal dari akar kata maala yang
berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi.[3]
Sedangkan dari secara istilah, harta adalah sesuatu yang menyenangkan manusia
dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.[4]
Sedangkan
dalam terminologi fiqih muamalah, terdapat beragam variasi tentang pengertian
harta. Di kalangan fuqaha Hanafiyah, harta adalah segala sesuatu yang naluri
manusia cenderung kepadanya dan dapat disimpan sampai batas waktu yang
diperlukan.[5]
Oleh ulama Hanafiyah lain disebutkan bahwa harta adalah segala sesuatu yang
dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat
(kebiasaan).[6]
Berdasarkan definisi tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1)
harta itu mungkin dapat dihimpun dan dipelihara. Dengan demikian ilmu,
kesehatan, kepintaran, dan kemuliaan tidak termasuk harta, tetapi milik; 2)
dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Dengan demikian makanan yang
beracun, atau rusak, tidak termasuk harta.[7]
Berbeda
dengan pengertian harta menurut kalangan Hanafiyah, jumhur ulama mendefinisikan
bahwa harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang
merusaknya, mempunyai kewajiban untuk menganggung atau menggantinya.[8]
Dari
beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan mengenai esensi harta, yaitu
bahwa yang disebut dengan harta adalah 1) sesuatu yang mempunyai nilai (al-qiimah), 2) sesuatu yang mempunyai
manfaat, dan 3) sesuatu yang diperoleh baik dengan usaha tertentu maupun tanpa
usaha tertentu.
2. Pembagian Harta
Sesuai
dengan pokok pembahasan menyangkut sistem pambagian harta, dalam Islam sistem
pembagian harta dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, menjelaskan harta dilihat dari segi wujud atau bentuknya
harta. Bentuk harta terbagi menjadi dua, yaitu berupa ‘ain (benda atau barang) dan manaafi’
(manfaat). kedua, berdasarkan boleh
tidaknya untuk memanfaatkan harta dibagi menjadi mutaqawwim dan ghairul
mutaqawwim. Sedangkan yang ketiga,
harta dilihat dari sisi ada atau tidaknya persamaan dari harta tersebut di
pasaran, terbagi menjadi mitsli dan qiimi.
a. ‘Ain dan Manaafi’
Harta
secara umum tidak hanya bersifat materi. Sebab menurut jumhur ulama, manfaat
juga merupakan harta.[9]
Contohnya, apabila ada seseorang menempati rumah orang lain tanpa seizin
pemiliknya, orang tersebut dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat rumah
tersebut mempunyai nilai harta. Manurut jumhur ulama tersebut, manfaat
merupakan unsur terpenting dalam harta. Karena harta diukur dengan kualitas
manfaat dari benda itu sendiri.
Kaitannya
dengan ‘ain dan manaafi’, harta ‘ain atau
materi ialah harta yang secara sifat benar-benar berwujud, bisa disentuh,
dipegang, diraba, dilihat, dan sebagainya. menyangkut hal ini, Musthafa Ahmad
al-Zarqa’ menyatakan “setiap materi
(‘ain) yang mempunyai nilai yang beredar dikalangan manusia”.[10]
Contohnya: rumah, lemari, komputer, HP, sepeda motor, dan lain-lain.
Harta
berwujud (‘ain) jika diklasifikasikan
menurut wujud yang menyertainya, dapat dibagi menjadi: ‘iqaar (barang bergerak), manquul
(barang tidak bergerak), ‘uruudl (barang
dagang), dan atsmaan (emas dan perak).
1) ‘Iqaar (barang bergerak)
‘Iqar
yaitu harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
seperti tanah dan bangunan.[11]
2) Manquul
(barang
tidak bergerak)
Manqul adalah harta yang
memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari satu tempat ke tempat yang
lainnya, baik bentuk fisiknya berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan
tersebut.[12]
Contoh harta manqul adalah uang,
harta perdagangan, hewan, ataupun komoditas lain yang dapat ditimbang atau
diukur.
Pembedaan harta seperti tertera di poin 1 dan 2
di atas, dapat mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, antara lain:[13]
o adanya
hak syuf’ah, (hak istimewa yang
dimiliki seseorang terhadap rumah tetangganya yang akan dijual, agar rumah itu
terlebih dahulu ditawarkan kepadanya).
o Harta
yang boleh diwakafkan. Menurut ulama mazhab Hanafi, harta yang boleh diwakafkan
hanya benda tidak bergerak atau benda bergerak yang sulit dipisahkan dari benda
tidak bergerak. Akan tetapi, jumhur ulama berpendirian bahwa kedua jenis harta
ini bisa diwakafkan.
o Seorang
wasi (orang yang diberi wasiat) yang
berkewajiban memelihara harta anak kecil (belum cakap bertindak hukum) tidak
dibenarkan menjual harta tidak bergerak milik anak tersebut, kecuali dalam
hal-hal yang sangat mendesak
o Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, gasab tidak mungkin dilakukan pada harta
tidak bergerak, karena harta tersebut tidak dapat dipindahkan. Salah satu
syarat gasab adalah barang yang digasab tersebut dikuasai dan dipindahkan oleh
orang yang menggasabnya. Disamping itu, menurut mereka jika sekedar memanfaatkan
benda tidak bergerak tidak dinamakan gasab, karena manfaat tidak termasuk harta.
Akan tetapi jumhur ulama dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berpendirian bahwa
gasab bisa terjadi pada benda bergerak dan benda tidak bergerak, karena bagi
mereka manfaat tidak termasuk harta.
3) ‘Uruudl
(barang
dagang)
Barang
dagang dalam Islam termasuk kategori harta. Sebab sesuatu yang diperdagangkan
tersebut merupakan hal yang sangat berharga bagi pemiliknya. Barang-barang itu
menjadi sumber penghasilan dalam hidupnya. Rasulullah SAW pernah menggantungkan
hidupnya dari perdagangan. Dan yang diperdagangkan adalah barang dagang.
Hasil yang ditimbulkan dari
pemanfaatan barang dagang dapat dibagi menjadi dua, yaitu Qinyah dan Tijaarah.
a)
Qinyah
Esensi
dari qinyah adalah tidak diprofitkan,
atau dengan kata lain harta barang dagang yang dimanfaatkan untuk kepentingan
konsumtif. Jadi dari harta tersebut tidak akan dilakukan penjualan untuk
pencarian laba.
Qinyah
dalam pemanfaatannya terbagi menjadi dua macam:
-
Habis jika dipakai (al-istihlaki)
Contoh : makanan, minuman, dan lain-lain.
-
Tidak habis jika dipakai (al-isti’mali)
Contoh : kendaraan, pakaian, tempat tidur, dan
lain-lain.
b) Tijaarah
Tijaarah, merupakan harta barang
dagang yang diprofitkan. Artinya jika dilihat dari segi pemiliknya, harta
barang dagang ini akan dugunakan untuk kepentingan mencari keuntungan.
Sesuai dengan pemanfaatan
harta barang dagang tijaarah
tersebut, dibagi menjadi dua, yaitu:
-
Habis jika dipakai (al-istihlaki)
Contoh : warung makan, katering, pulsa, bahan
bakar, dan lain-lain.
-
Tidak habis jika dipakai (al-isti’mali)
Contoh : rumah kontrakan, kost-kostan,
komputer, handphone, dan lain-lain.
4) Atsmaan (perhiasan)
Seperti
yang sering dijumpai, perhiasan juga termasuk harta berbentuk (‘ain). Bahkan untuk mendapatkannya,
seseorang harus berupaya sekeras-kerasnya. Sebab perhiasan jika dilihat dari
segi nilai, dapat dikatakan bahwa nilai dari perhiasan sangat tinggi dan nilainya
juga stabil di pasaran. Contoh harta ini adalah seperti : emas, perak, mutiara,
berlian, intan, dan lain-lain.
b. Mutaqawwim dan Ghairul
Mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah harta yang halal
(menurut syarak) untuk diambil manfaatnya.[14]
Sedangkan ghairul mutaqawwim adalah harta
yang tidak halal dimanfaatkan.[15]
Pembedaan pembagian harta Mutaqawwim dan
Ghairul Mutaqawwim akan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan
harta tersebut menurut syarak.[16]
Bangkai, babi dan khamr dalam
Islambukanlah harta yang halal dimanfaatkan. Oleh sebab itu, tidak sah
dilakukan akad terhadap benda-benda tersebut. Dari segi ganti rugi, jika
melenyapkan dengan sengaja harta Ghairul
Mutaqawwim yang dimiliki oleh seorang muslim, tidak dikenakan ganti rugi,
karena harta tersebut tiadk halal bagi umat Islam. Berbeda halnya dengan khamr dan babi milik kafir dzimmi, menurut ulama mazhab Hanafi,
jika dilenyapkan oleh seorang muslim, wajib dibayar ganti rugi, sebab menurut
kafir dzimmi, kedua bentuk harta tersebut termasuk mutaqawwim.
c. Mitsli dan Qiimi
1) Mitsli
Al-maal al-mitsli
adalah harta yang terdapat padanannya di pasaran, tanpa adanya perbedaan atas
bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kasatuannya.[17]
Ada yang berbentuk barang takaran, barang timbangan,barang bilangan, yang
masing-masing tidak memiliki perbedaan nilai.[18]
Contohnya seperti sembako, kain, dan lain sebagainya.
Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi empat
bagian:[19]
o Al-makiilat
(sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandum, terigu, beras.
o Al-mauzunaat
(sesuatu yang dapat ditimbang) seperti kapas, besi, tembaga.
o Al-‘adadiyaat
(sesuatu yang dapat dihitung dan memiliki kemiripan bentuk fisik) seperti;
pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil
yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
o Adz-dzira’iyaat
(sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya)
seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka
dikategorikan sebagai harta qimi,
seperti tanah.
2) Qiimi
Al-maal al-qimi
adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat
padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda.[20]
Al-maal al-qimi juga biasa disebut
barang bernilai tinggi.[21]
Seperti domba, tanah, kayu, dan lain-lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari
fisiknya, akan tetapi setiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu
dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi
adalah durian, semangka yang memiliki kualitas dan bentuk fisik yang berbeda.
[1] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. h. 9.
[2] QS. 18: 46, artinya 46. “Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan”.
[3] Dahlan, Abdul Azis. 2000.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 525.
[4] Ibid. h. 525.
[5] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. h. 10.
[6] Hasan, M. Ali. 2003.
Bagaimana Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. h. 56.
[7] Ibid. h. 56.
[8] Djuwaini,
Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h.
21.
[9] Ambary, Hasan Muarif, dkk.
1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 177.
[10] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. h. 12.
[11] Djuwaini,
Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h.
27.
[12] Ibid. h. 27.
[13] Dahlan, Abdul Azis. 2000.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 526.
[14] Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. h. 20.
[15] Ibid. h. 21.
[16] Ambary, Hasan Muarif, dkk.
1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve. h. 178.
[17] Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. h. 30.
[18] Ash-Shawi, Shaleh dan
Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih Ekonomi
Keuangan Islam. Jakarta:……………….. h.
72.
[21] Ash-Shawi,
Shaleh dan Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:……………….. h. 72.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Komaruddin. 1996. Dasar-dasar Manajemen
Investasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ambary,
Hasan Muarif, dkk. 1999. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ash-Shawi,
Shaleh dan Abdullah al-Muslih. 2001. Fikih
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:……..
Dahlan,
Abdul Azis. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Djuwaini,
Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh
Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gilarso.
1992. Pengantar Ilmu Ekonomi Bagian
Makro. Yogyakarta: Kanisius.
Hasan,
M. Ali. 2003. Bagaimana Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mas’adi,
Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Posting Komentar