Oleh : Dhony Arifil Huda
BAB I
PENDAHULUAN
Konsumsi
merupakan salah satu unsur pokok dalam perilaku ekonomi, selain kegiatan
produksi dan distribusi. Di antara ketiganya (Konsumsi, Produksi, dan
Distribusi) haruslah saling melengkapi agar kegiatan ekonomi dapat berjalan
sesuai dengan harapan manusia seutuhnya (maslahat).
Dalam ilmu
Ekonomi Islam, telah diatur beberapa aturan tentang bagaimana seharusnya
sebagai makhluk Allah SWT seseorang mengkonsumsi sesuatu. Mengkonsumsi yang
tidak dibenci Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang
mengatur tentang kegiatan konsumsi manusia. Salah satu ayat yang menerangkan
perilaku konsumsi yang baik adalah pada QS. Al-Baqarah[2]:168. Di ayat tersebut
Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk mengkonsumsi sesuatu yang sesuai dengan
syari’at Islam, serta tidak mengikuti lagkah-langkah setan. Maksud sesuai
dengan syari’at Islam adalah makanan atau minuman yang benar-benar halal dan
baik. Baik di sini diartikan bahwa sesuatu yang dikonsumsi tersebut dapt
menimbulkan efek positif bagi yang mengkonsumsinya.
Di atas telah
dijelaskan bahwa konsumsi merupakan salah satu unsur pokok dalam ilmu ekonomi.
Mengenai hal tersebut, baik dilihat dari sudut pandang konvensional maupun
syari’at Islam sama saja, merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang tidak
dapat dipisahkan keberadaannya. Namun dari kesamaan tersebut, ternyata dalam
prakteknya tedapat beberapa perbedaan. Dalam suatu kuliah[1]
pernah dijelaskan mengenai hal tersebut. Salah satu perbedaannya terletak dari
sisi utilitas (kepuasan), yakni apabila konvensional suatu kegiatan konsumsi akan
dianggap maksimal atau mencapai titik kepuasan jika telah mencapai budget (anggaran), dan anggaran tersebut
sangat mempengaruhi tingkat kepuasan tersebut. Artinya jika budget yang dimilikinya bertambah, maka
kepuasan yang didapatkannya juga akan ikut bertambah. Maksudnya seseorang
tersebut akan berusaha memenuhi kepuasannya dengan mengkonsumsi apa saja
asalkan mencapai budget yang ada.
Hal di atas
sangat bertentangan dengan prinsip syari’ah. Di dalam ajaran Islam dijelaskan
bahwa sebagai hamba-Nya seseorang tidak boleh bersikap boros, dengan
menghambur-hamburkan harta yang dimilikinya semata-mata untuk kepentingan
pribadi. Karena sikap boros termasuk perilaku setan. Islam mewajibkan kepada
setiap umatnya untuk ‘ingat’ akan keberadaan kaum dhuafa, melalui zakat. Zakat
ini diwajibkan bagi muslimin yang hartanya telah mencapai nisab 85 gram emas.
Menindaklanjuti
berbagai persoalan yang ada, melalui ilmu yang telah tersedia (Ekonomi Islam),
Islam mencoba meluruskan pandangan manusia awam mengenai perilaku konsumsi.
Salah satu caranya adalah melalui pendekatan Tafsir. Dalam masalah ini Tafsir
digunakan sebagai pemerjelas ayat-ayat tentang konsumsi yang nantinya akan
dipahami oleh manusia seluruhnya.
Posting Komentar